ATips Menulis : Membangunkan Pujangga Tidur
Sebuah ide membakar pikiran saya berhari-hari
Apa gerangan yang membuat seseorang menulis? Apa yang sesungguhnya terjadi ketika seseorang memutuskan ingin jadi penulis? Apa yang ingin dicari seorang penulis? Dinamika apa yang sebenarnya terjadi antara penulis, pembaca, dirinya dan semesta raya?
Sudah cukup sering saya menjadi juri berbagai lomba penulisan. Ratusan naskah dari orang-orang yang ingin suaranya didengar, ingin suaranya menjadi pemenang… apakah hadiah yang mereka cari? Ataukah ada yang lebih dari sekadar piagam dan uang? Sudah cukup sering juga saya dimintai pendapat atas naskah seseorang. Dari mulai yang meminta endorsement sampai yang cuma ingin dibaca saja. Kepuasan apakah yang sebetulnya didapat dari menuliskan puluhan bahkan ratusan lembar itu? Apa yang memotori para penulis itu merangkai kata? Apa yang sebetulnya mereka ingin bisikkan, teriakkan, dan tangiskan?
Tak terhitung juga banyaknya pertanyaan yang terlontar pada saya, menanyakan tips menjadi penulis, cara menulis yang baik, cara menuangkan ide ke dalam tulisan, bahkan sampai tips mencari judul dan nama tokoh. Beberapa kali saya memang pernah memberikan pelatihan penulisan, tapi hanya untuk beberapa jam saja. Yang paling intensif pernah saya lakukan untuk UNAIDS, mentoring selama dua hari, dan hasilnya menjadi sebuah buku ("Kartini Bernyawa Sembilan"). Dan dalam proses relatif singkat itu, tetap saja saya terusik, termenung, bahkan terpukau melihat transformasi yang bisa diperagakan seseorang ketika ia berhasil "disentuh" oleh kekuatan ilham. Dan saya pun bertanya-tanya, adakah caranya agar seseorang bisa menyiapkan dirinya untuk disentil dan disengat inspirasi?
Saya tidak pernah punya latar belakang sastra secara formal. Nilai di rapor saya untuk pelajaran Bahasa Indonesia selalu biasa-biasa saja. Tapi sejak balita, saya senang berkhayal dan melamun. Saya bisa melamun berjam-jam sebelum terlelap. Waktu kanak-kanak, saya bukan seorang kutu buku. Urat baca saya masih kalah dibandingkan kakak-kakak saya yang lain.Tapi saya amat senang membuat cerita. Saat itu dorongan menulis buat saya lebih kuat ketimbang membaca.
Saya juga pemerhati hal-hal remeh. Waktu kecil, saya sangat suka kelereng. Bukan untuk dimainkan, melainkan untuk diamati. Saya bisa menghabiskan waktu panjang hanya untuk mengamati sebola kelereng di terang lampu. Rasanya ada galaksi ajaib di dalam bola itu. Kilau yang dipantulkan kaca dalam kelereng seolah membentuk labirin dan bintang-bintang, dan saya terlongo-longo dipukau keindahannya. Saya juga kecanduan mengamati langit. Mencari bentuk dan wajah di awan, menghayati warna-warni senja sampai dada saya sesak oleh haru. Sebuah kebiasaan yang terus berlanjut hingga dewasa: mengamati angkasa hingga menunggu ia "berbicara" pada saya.
Entah mengapa, hal-hal kecil yang susah didefinisikan itulah yang justru terasa kokoh dan masif saat saya mengamati ke dalam diri untuk mencari pilar-pilar apa yang menjadi penyangga saya sebagai penulis. Bukan hadiah, ketenaran, piagam, atau uang, meskipun semua itu bisa jadi efek samping yang menyenangkan.
Sayangnya, pilar-pilar itu justru sering luput diamati. Kita malah lebih tertarik pada "kabut" yang menyelimuti seorang penulis ketimbang bara api yang membakarnya. Tidak heran ketika saya iseng survei "pelatihan penulisan" di internet, yang muncul adalah workshop untuk jadi penulis best-seller, workshop untuk jadi penulis profesional, workshop how-to menerbitkan buku, bahkan ada yang menjadikan nama saya sebagai iming-iming ("ingin menjadi penulis best-seller seperti Dee?"). Tidak ada yang salah atau buruk dari workshop semacam itu, bahkan pada level kebutuhan tertentu bisa jadi malah sangat berguna. Tapi perlu kita sadari bahwa penjelajahan superfisial otomatis akan membawa kita ke tempat-tempat yang superfisial, sementara penjelajahan yang sifatnya esensial tentunya akan membawa kita menelusuri gorong-gorong yang lebih dalam. Tergantung pada apa yang kita masing-masing butuhkan saat ini.
Jika ditanya, apa rahasianya agar bisa jadi penulis best-seller? Saya akan jujur menjawab: tidak tahu. Jadi, kalau satu saat nanti saya berkoar tentang bagaimana cara menulis buku laku, jangan pernah percaya. Saya sungguh-sungguh tidak tahu. Jika ditanya, apa rahasianya agar naskah kita diterima penerbit? Jujur, saya pun tidak tahu. Seperti jodoh, kita bisa punya sederet kriteria ideal, tapi pada akhirnya misterilah yang menautkan kita dengan seseorang. Begitu juga hubungan antara penerbit dan penulis. Sudah jadi cerita klasik bagaimana sebuah naskah ditolak sejumlah penerbit sampai akhirnya ada satu pintu yang membuka dan tahu-tahu naskah itu meledak menjadi best-seller. JK. Rowling mengalaminya, John Grisham mengalaminya, Sitta Karina mengalaminya, dan masih banyak lagi. Dan kalau ada yang bertanya, bagaimana sih caranya menulis? Jawaban saya pun tetap sama: tidak ada cara lain untuk menulis selain menulis.
Ada sesuatu yang sederhana yang kerap lolos dari pengamatan kita. Saya akan mengambil diri saya sendiri sebagai contoh. Ketika ditanya: bagaimana caranya agar tulisan kita dibaca orang? Hati saya tidak bereaksi. Datar dan hambar. Yang sibuk berputar untuk menjawab adalah kepala saya. Sementara ketika ditanya: apa motor yang menggerakkan saya berkarya, yang bisa membuat saya menggelepar seperti cacing kena garam, yang mampu membuat rahang saya kejang karena gemas, yang bisa melesatkan saya menembus atmosfer bahasa? Hati saya seketika tergetar. Ada sesuatu yang hidup, yang dahsyat, yang langsung mengaliri tubuh saya. Sementara kepala saya cuma bisa kelimpungan mencari penjelasan yang memang di luar kesanggupannya.
Sesuatu itu, teman-teman, adalah sesuatu yang paling penting untuk ditemukan. Sisanya bonus. Kepala Anda tidak bisa menjawabnya. Hanya hati yang tahu. Di titik pertemuan antara Anda dan bara api yang membakar jiwa Anda itulah kabut kepenulisan akan meluruh dengan sendirinya. Anda seketika bisa membedakan mana yang penting dan tidak penting. Mana yang esensi dan mana yang aksesoris.
Sekarang Anda mungkin tergerak untuk bertanya, bagaimana caranya mengalami pertemuan itu? Saya pun harus jujur menjawab: tidak tahu pasti. Namun kali ini saya tertarik ingin mencari tahu, bersama-sama dengan Anda. Sama halnya kita tidak tahu kapan petir akan menyambar, tapi kita bisa mempersiapkan diri untuk disambar petir.
Inilah ide yang sekarang tengah membakar saya, yang mudah-mudahan bisa saya laksanakan pada awal tahun depan: membuat sebuah workshop penulisan intensif, bukan untuk menjadi penulis best-seller, bukan juga untuk memenangkan lomba, bukan untuk karyanya diterima penerbit, melainkan untuk membangunkan sang pujangga yang tertidur.
Pernahkah Anda melihat kandang macan di siang hari? Binatang yang sangat indah, tapi cenderung membosankan berhubung kerjanya cuma tidur. Sekarang bayangkan macan itu adalah pujangga dalam diri kita. Sekalipun kita sudah banyak menciptakan kalimat-kalimat indah, belum tentu kita menyuarakan kejujuran kita yang terdalam. Saat kita melihat seekor macan tertidur di kandang, yang mengaum di kepala kita adalah cerita-cerita orang tentang macan, atau pengetahuan kita tentang macan yang didapat dari brosur, buku, atau teve. Tapi selama macan itu belum mengaum langsung, sesungguhnya kita tidak pernah mendengar suara dia yang sebenarnya.
Saya ingin mendengar macan itu mengaum dan merobekkan cakarnya. Bahkan lebih dari itu, saya ingin macan itu merdeka dari kandangnya kemudian berlari bebas dan kembali jadi raja hutan. Pujangga dalam diri kita kini terkurung dan tertidur pulas. Terbius oleh aturan dan kata-kata orang. Bahkan kebanyakan dari kita tak menyadari sang pujangga itu ada.
Di sinilah saya menemukan titik temu antara menulis dan meditasi. Writing and Zen. Di luar embel-embel gemerlap profesi penulis, kegiatan menulis adalah samurai tajam yang mampu mengupas lapis demi lapis diri kita. Siapa dan apa yang sesungguhnya bersembunyi di balik tabir pikiran dan baju kata-kata? Dari mana datangnya itu semua? Menulis juga mampu membantu kita berjarak dari kemelut ego, dari "aku" yang mengira dirinya pusat segala hal. Jarak tersebut memampukan kita untuk melihat sesuatu dengan lebih jernih, netral, tidak menghakimi. Itulah kepekaan yang ingin kita asah melalui meditasi. Dan kepekaan itu jugalah yang bisa kita asah melalui aktivitas menulis dalam konteks meditatif.
Berbeda dengan "pengetahuan" yang diturunkan secara estafet, Zen bagi saya adalah pengalaman langsung. A path of direct knowing. Sesuatu yang universal dan bisa diakses oleh siapa saja terlepas dari ragam latar belakang dan kepercayaannya. Pada hakikatnya "pengetahuan" sudah mati, sementara "mengetahui langsung" adalah aktivitas hidup yang terjadi secara spontan. Itu jugalah yang membedakan antara "menulis dari hati" dengan "menulis berpikir". Meski kita sering mengklaim bahwa tulisan kita adalah tulisan dari hati, seringkali yang terjadi adalah tulisan yang kita "pikir" dari hati. Sebaliknya, menulis dari hati juga bukan berarti tanpa proses berpikir sama sekali. Tapi dalam hal ini pikiran kita ditempatkan sebagai gerbong yang ditarik, bukan lokomotif.
Tentunya ini akan menjadi perjalanan yang membutuhkan banyak keberanian. Berani menghadapi diri sendiri dan bertarung dengan ketidakpastian. Tidak hanya bagi pesertanya tapi juga bagi fasilitatornya. Kita sama-sama tidak tahu macan jenis apa yang menunggu Anda di bawah sana. Bahkan kita tidak tahu akan menemukannya atau tidak. Tapi, tidakkah perjalanan ini menjadi sesuatu yang layak dicoba?
KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME REFLEKSI DARI KETIDAKTERTIBAN SOSIAL
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberan
Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif).
Perkara Korupsi, Kolusi dan nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28 tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati, mantan bupati dan lain sebagainya menunjukkan bahwa para pejabat negara yang diharapkan menjadi tauladan bagi masyarakat luas mengenai tertib hukum dan tertib sosial, ternyata justru mereka yang harus duduk dikursi pesakitan dengan tuntutan tindak pidana korupsi. Kasus Bulog dan kasus dana non bugeter DKP yang begitu kusut hanyalah sedikit dari sekian banyak perkara korupsi di negara yang berupaya mewujudkan good goverment and clean goverment sebagai salah satu cita-cita reformasi.
Mundurnya presiden Soeharto dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun menjadi langkah awal dari reformasi disegala bidang baik itu ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya serta yang terpenting adalah pintu demokrasi harus dibuka lebar-lebar dengan harapan bangsa ini akan memiliki masa depan yang lebih baik. Namun sayang impian itu tidak sepenuhnya terpenuhi, lamban bahkan sebagian kebobrokan itu menjadi meningkat drastis secara kualitas maupun kuantitasnya. Salahsatu bagian dari kebobrokan itu adalah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Praktek KKN ini merupakan salahsatu penyakit akut yang terjadi dimasa orde baru yang mengakibatkan sistem ekonomi, politik, kekuasaan dan lapisan birokrasi berasaskan kekeluargaan yaitu kekuasaan hanya berputar pada kalangan terbatas saja yaitu anggota keluarga dan teman dekat saja.
Semangat dan upaya pemberantasan korupsi di era reformasi ditandai dengan keluarnya berbagai produk perundangan-undangan dan dibentuknya institusi khusus, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Harapan terhadap produk-produk hukum diatas adalah praktek Korupsi sebelum reformasi dapat dibawa kemeja hijau dan uangnya dikembalikan pada negara, sedangkan pada pasca reformasi dapat menjadi suatu usaha preventif. Namun apa yang terjadi dilapangan tidaklah sesuai yang diharapkan. Beberapa kasus korupsi dimasa orde baru ada yang sampai kemeja hijau. Walau ada yang sampai pada putusan hakim tapi lebih banyak yang dipetieskan atau bahkan hanya sampai pada penyidik dan Berita acara perkaranya (BAP) mungkin disimpan dilemari sebagai koleksi pribadi pengadilan. Kemudian timbul pertanyaan bagaimana hasilnya setelah pasca reformasi? Jawabannya adalah sama saja walaupun sebenarnya dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono genderang perang terhadap korupsi sudah menunjukan beberapa hasilnya, kalau tidak mau disebut jalan ditempat.
Beberapa kasus besar memang telah sampai pada putusan pemidanaan dan berkekuatan hukum tetap. Tapi perkara korupsi ini bukanlah monopoli dari kalangan elit tapi juga oleh kalangan akar rumput walaupun kerugian yang ditimbulkan sedikit. Pertanyaan selanjutnya? Bagaimana bila suatu saat mereka bisa menduduki jabatan stategis dan basah. Jadi mereka tinggal meningkatkan kreativitasnya untuk korupsi. Intinya adalah masalah kesempatan saja, yang berarti produk undang-undang dan aplikasinya hanyalah tindakan pemberantasan dan bukan pencegahan (preventif). Korupsi ternyata bukan hanya masalah hukum tapi juga budaya, kebiasaan dan kesempatan, moral dan agama. Sehingga menjadi suatu kesalahan besar ketika kita mengatakan bahwa korupsi bisa diberantas sampai keakar-akarnya bila yang dilakukan hanyalah sebatas pemenuhan kebutuhan yuridis. Karena realitasnya semakin banyak peraturan justru korupsi semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang berprestasi dalam hal korupsi dan negara-negara lain tertinggal jauh dalam hal ini.
Bahkan yang lebih menggelikan lagi ada kalimat yang sudah menjadi semacam slogan umum bahwa Indonesia negara terkorup tapi koruptornya tidak ada. Sepertinya ini sesuatu yang aneh yang hanya dapat terjadi di negeri antah barantah. Selain korupsi, dua kata yang dikaitkan dengannya adalah kolusi dan nepotisme juga merupakan tindak pidana. Tapi apakah selama ini ada perkara yang terkait dengan hal itu.
Muncul pertanyaan apakah dimasukannya dua tindak pidana tadi hanya sebagai produk untuk memuaskan masyarakat saja? Atau memang bertujuan melakukan pemberantasan terhadap kolusi dan nepotisme yang telah masuk kedalam stuktur masyarakat dan struktur birokrasi kita? Kenapa UU No.28/1999 tidak berjalan efektif dalam aplikasinya? Apakah ada error criminalitation? Padahal proses pembuatan suatu undang-undang membutuhkan biaya yang besar dan akan menjadi sia-sia bila tidak ada hasilnya. Dimana sebenarnya letak kesalahan yang membuat tujuan tertib hukum ini justru meningkatkan ketidaktertiban hukum.
Dizaman dimana hukum positif berlaku dan memiliki prinsip asas legalitas yang bertolak pada aturan tertulis membuat hukum dipandang sebagai engine solution yang utama dalam mengatasi banyak permasalahan yang muncul dimasyarakat. Namun dalam realitasnya ternyata hukum hanya sebagai obat penenang yang bersifat sementara dan bukan merupakan upaya preventif serta bukan juga sebagai sesuatu yang dapat merubah kebiasaan dan budaya negatif masyarakat yang menjadi penyebab awal permasalahan.
Permasalahan pokok yang menyebabkan ketidaktertiban hukum ini adalah karena adanya ketidaktertiban sosial. Bila bicara masalah hukum seharusnya tidak dilepaskan dari kehidupan sosial masyarakat karena hukum merupakan hasil cerminan dari pola tingkah laku, tata aturan dan kebiasaan dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan hukum sering dijadikan satu-satunya mesin dalam penanggulangan kejahatan dan melupakan masyarakat yang sebenarnya menjadi basis utama dalam penegakan hukum. Jadi jelas bahwa aspek sosial memegang peran yang penting dalam upaya pencegahan kejahatan yang tentunya hasilnya akan lebih baik karena memungkinkan memutus matarantainya.
Praktek korupsi seakan menjadi penyakit menular yang tidak ditakuti seperti halnya flu burung. Adakalanya disebabkan karena pemenuhan kebutuhan seperti yang dilakukan oleh pegawai rendahan, tapi ada juga yang karena pengaruh budaya materialistis menumpuk kekayaan seperti koruptor-koruptor dari kalangan pejabat tinggi yang kehidupannya sudah lebih dari "mewah". Karena adanya pemerataan korupsi maka tidak salah kalau orang mengatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia. Artinya pokok permasalahan dari korupsi adalah bagaimana pola pikir masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi ? Apakah dilatarbelakangi budaya materi dengan menumpuk kekayaan atau secukupnya sesuai kebutuhan dan bila berlebih akan disalurkan bagi yang membutuhkan sebagaimana ajaran agama dan etika moral.
Hal ini berarti bicara bagaimana pola tingkah laku, peresapan ajaran agama, moralitas dan hal-hal lain yang mempengaruhi mental seseorang. Begitu pula halnya dengan kolusi dan nepotisme yang akar permasalahannya terletak pada kekalahan dari idealisme sosial yang berisi nilai-nilai yang dapat menciptakan keteraturan dalam masyarakat. Kolusi dan nepotisme telah menjadi kebiasaan dalam struktural masyarakat kita. Hal ini bisa kita amati dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan merupakan barang yang mahal saat ini. Tapi untuk sebagian orang yang melewati jalan belakang ini sangatlah mudah. Misalnya cukup dengan membayar sejumlah uang dalam jumlah besar atau dengan membawa surat sakti dari "orang kuat" atau melobi keluarga dekat yang berada dalam struktur lapangan kerja yang diinginkan. Bila ini diimbangi dengan kualitas yang bagus tidak masalah, walaupun rasa keadilan tetap masih ternodai. Tapi kalau kualitasnya jelek, ini sama saja dengan menempatkan orang yang bukan ahlinya yang kelak justru akan menambah pada kehancuran. Parahnya hal ini seakan telah menjadi prosedural bukan saja diinstitusi swasta tapi juga di pemerintahan.
Pertanyaan berikutnya, apa ada jaminan pelaku tersebut dijerat oleh hukum? Atau justru lepas dan ia akan terus membina kondisi ini dan akan terjadi regenerasi terus-menerus. Lalu apakah masyarakat akan menentang jalur-jalur belakang ini atau justru lahir sikap pembiaran karena ternyata juga telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat saat ini. Jadi jelaslah bahwa upaya preventif dari pemberantasan KKN adalah dengan menciptakan tertib sosial dalam arti adanya tertib nilai-nilai yang harus diaplikasikan dalam struktur masyarakat. Dengan berubahnya pola tingkahlaku yang sesuai dengan nilai-nilai keadilan, agama dan etika moral akan lebih efektif dibandingkan hanya dengan aplikasi Undang-undang saja. Jadi perlu adanya keseimbangan antara tertib sosial dan tertib hukum untuk dapat mencapai reformasi yang mensejahterakan masyarakat.
MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup di mana dia ber
Kesadaran hukum masyarakat merupakan salah satu bagian dari budaya hukum. Dikatakan sebagai salah satu bagian, karena selama ini ada persepsi bahwa budaya hukum hanya meliputi kesadaran hukum masyarakat saja. Padahal budaya hukum juga mencakup kesadaran hukum dari pihak pelaku usaha, parlemen, pemerintah, dan aparat penegak hukum. Hal ini perlu ditegaskan karena pihak yang dianggap paling tahu hukum dan wajib menegakkannya, justru dari oknumnyalah yang melanggar hukum. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum yang masih rendah dari pihak yang seharusnya menjadi "tauladan bagi masyarakat".
Menurut Soerjono Soekanto, Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya. Kesadaran hukum meliputi berbagai aspek kehidupan dan tingkat kesadarannya bisa berbeda-beda tergantung tingkat aplikasi faktor-faktor di atas. Selain itu, kesadaran hukum juga ditentukan oleh sudut pandang masing-masing individu dalam melihat "hukum".
Kesadaran Hukum Lingkungan
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun kesadaran hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi kebijakan. Sinergi keduanya penting, karena kesadaran hukum itu ada yang tumbuh karena memang sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Misalnya orang yang suka dengan hidup bersih, maka ia tidak akan membuang sampah sembarangan. Kesadaran hukum juga dapat tumbuh karena takut dengan sanksi yang dijatuhkan. Kesadaran semu inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Lepas dari penyebab kesadaran hukum itu muncul, yang berbahaya adalah apabila kesadaran hukum itu telah ada namun kemudian menurun bahkan hilang karena faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih. Hal ini akan menurunkan kesadaran hukum masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran hukum tidak cukup dengan menuntut masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan tauladan dan penegakan hukum.
Manusia, baik kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai pelaku usaha, sebagai aparat penegak hukum, maupun sebagai pembuat/pengambil kebijakan, harus memiliki kesadaran hukum lingkungan meskipun secara bertahap, dari sekedar mengetahui sampai dengan menaati dan menghargai berbagai ketentuan hukum lingkungan yang ada.
Bagi individu dimasyarakat, misalnya dengan tidak membuang sampah sembarangan. Bagi pelaku usaha, misalnya melakukan AMDAL dan pengelolaan limbah yang dihasilkan. Sementara bagi Pemerintah, misalnya dengan memperketat proses AMDAL dan perizinan, serta menindak tegas pegawai yang menyalahgunakan kewenangannya, seperti memberikan AMDAL dan izin tanpa prosedur yang seharusnya. Selain itu, pemerintah dalam membuat kebijakan tata kota dan perizinan area bisnis hendaknya memperhatikan kondisi lingkungan tidak hanya untuk saat ini tetapi juga untuk masa yang akan datang.
Karena dibeberapa kota, banjir dan tanah longsor terjadi justru disebabkan kebijakan tata kota yang menjadikan daerah serapan air dan hutan lindung kota sebagai area bisnis, seperti pendirian Mall dan apartemen. Sedangkan bagi Parlemen, seperti DPRD dalam membuat Perda yang berkaitan dengan lingkungan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan harus menguntungkan masyarakat di daerah. Sementara bagi aparat penegak hukum, hendaknya menindak tegas para perusak lingkungan tanpa pandang bulu, termasuk apabila pelakunya melibatkan pejabat dan atasan/bawahannya sendiri.
Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, "mengetahui", secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL.
Kedua, "mengerti", masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan.
Ketiga, "mentaati", setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana "menghindari" atau "mensiasatinya".
Keempat, "menghargai", ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.
Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan kata "lingkungan" saja, sehingga hanya UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga UU lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti UU tentang Perikanan, Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UU PLH pada dasarnya merupakan UU induk atau Payung "umbrella Act" dibidang lingkungan hidup bagi semua UU tersebut.
Menumbuhkan Kesadaran Hukum Lingkungan
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ketiga, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.
Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif.
Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.
ASET BUDAYA YANG TERABAIKAN
"Potensi BCB Babel Belum Tergali Optimal". Demikian pernyataan Agus Widyatmoko dari Pokja Dokumentasi dan Publikasi, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BPPP) Jambi (Babelpos, Sabtu 8 November 2008). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa aset budaya dan peninggalan sejarah yang berupa Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada dinegeri Laskar Pelangi ini belum dimanfaatkan dengan maksimal, baik oleh pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat. Padahal BCB dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, ekonomi, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Disamping itu, yang paling penting adalah generasi saat ini dan yang akan datang tidak kehilangan identitas dan sejarah masa lalunya.
Beberapa peninggalan sejarah di Babel, misalnya yang tersebar di Kota Pangkalpinang, ada Pemakaman Belanda (Kerkhof), Klenteng Kwan Tie Miaw (Amal Bhakti), Katedral Santo Yosep, Masjid Jamik, Rumah Dinas Walikota/Rumah Residen. Ini barulah sebagian saja, mungkin masih banyak lagi peninggalan sejarah yang tersebar di 6 Kabupaten lainnya.
Arti Penting
Keberadaan BCB pada prinsipnya memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia. Dalam konsideran UU No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dinyatakan bahwa “Benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional”. Sementara dalam Piagam Kelestarian Pusaka Indonesia, dinyatakan bahwa “Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa datang”.
Faktor Penghambat
Upaya pelestarian BCB di Indonesia bukanlah suatu usaha yang mudah. Ada beberapa faktor penghambat dalam pelestarian dan perlindungan BCB, yaitu Pertama, minimnya anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah untuk pelestarian BCB; Kedua, kurangnya minat investor swasta dan kontraktor dalam melakukan konservasi dan revialisasi BCB dengan berbagai alasan, seperti tidak menguntungkan dari segi bisnis, besarnya pajak, rumitnya birokrasi dan masih dipercayanya 4 mitos pendaurulangan BCB, yaitu (1) mitos bahwa biaya pendaurulangan lebih mahal dibandingkan membangun baru; (2) mitos bahwa bangunan kuno tidak efisien untuk fungsi baru karena tata letak, ketinggian langit-langit dan sebagainya yang akan tidak sesuai dengan tuntutan mekanikal elektrikalnya; (3) mitos bahwa tingkat kekosongan (vacancy rate) untuk bangunan perdagangan dan perkantoran dibangunan dan kawasan kuno lebih tinggi dibandingkan pada bangunan baru dan (4) mitos bahwa bangunan kuno yang diremajakan akan memiliki umur yang lebih pendek ketimbang bangunan baru. Ketiga, kurangnya kesadaran akan rasa memiliki dan melindungi, baik para pemilik, pemerintah, investor maupun masyarakat; Keempat, belum maksimalnya aplikasi kebijakan Pemerintah dalam pelestarian BCB. Walaupun menjadi kebijakan penting, namun bukan prioritas. Selain itu, pengelolaan BCB saat ini menjadi monopoli pemerintah, tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Kelima, masih lemahnya pengamanan dan penindakan oleh aparat hukum dalam perlindungan BCB, yaitu dengan adanya tindakan kriminal, seperti pencurian, pemalsuan dan vandalisme (pengrusakan, pencoretan, dan lain-lain). Kelima, pemahaman konsep tata kota modern yang salah. Akibatnya, kepala daerah membangun hotel, mall, supermarket disetiap sudut kota dan gedung-gedung pencakar langit lainnya sebagai tanda keberhasilan pembangunan daerah, tanpa memperhatikan keberadaan BCB.
Tindak Pidana
Kebijakan hukum pidana dalam upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana terhadap BCB sudah diawali sejak masa penjajahan Belanda, yaitu Monumenten Ordonnantie/M.O 1931 (Stbl. No. 238 Tahun 1931). Namun M.O ini kemudian diganti dengan UU No 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, dengan Peraturan pelaksananya Peraturan Pemerintah No. 10/1993.
Adapun ketentuan pidananya adalah Pasal 26 : sengaja merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk dan/atau warna, memugar, atau memisahkan tanpa izin dari Pemerintah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000, Pasal 27 : sengaja melakukan pencarian BCB atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, atau dengan cara pencarian lainnya tanpa izin dari Pemerintah dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000, Pasal 28 : tidak mendaftarkan pemilikan, pengalihan hak, dan pemindahan tempat, tidak melapor atas hilang dan/atau rusaknya benda cagar budaya, tidak melapor atas penemuan atau mengetahui ditemukannya benda cagar budaya atau benda yang diduga sebagai BCB atau benda berharga yang tidak diketahui pemiliknya, memanfaatkan kembali benda cagar budaya yang tidak sesuai dengan fungsinya semula dan menggandakan tanpa seizin Pemerintah; masing-masing dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000.000. Namun, selama ini pelanggaran/kejahatan terhadap ketentuan-ketentuan pidana tersebut masih lemah dalam penegakan hukumnya. Disamping itu, UU No. 5/1992 juga mengandung beberapa kelemahan, seperti masalah kriminalisasi, belum digunakannya sistem minimum khusus dalam sistem perumusan lamanya pidana dan masalah sinkronisasi dan harmonisasi dengan undang-undang lain yang berkaitan, termasuk Peraturan Daerah. Oleh karena itu perlu dilakukan re-formulasi terhadap UU No. 5/1992 dan konsep pembangunan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah "penyatuan peradaban masa lalu dengan dimasa kini, untuk masa depan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar